Mengingkari kemungkaran adalah perkara
syar’i lantarannya, kebaikan bisa nampak dan tersebar. Demikian pola kebatilan
akan menipis, bahkan sirna.
Mengingkari kemungkaran merupakan ciri
hkas kaum mukminin. Allah ta’ala berfirman,
وَالْمُؤْمِنُونَ وَالْمُؤْمِنَاتُ بَعْضُهُمْ أَوْلِيَاءُ بَعْضٍ يَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَيَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ وَيُقِيمُونَ الصَّلَاةَ وَيُؤْتُونَ الزَّكَاةَ وَيُطِيعُونَ اللَّهَ وَرَسُولَهُ أُولَئِكَ سَيَرْحَمُهُمُ اللَّهُ إِنَّ اللَّهَ عَزِيزٌ حَكِيمٌ
“Dan
orang-orang yang beriman, lelaki dan perempuan, sebahagian mereka (adalah)
menjadi penolong bagi sebahagian yang lain. Mereka menyuruh (mengerjakan) yang
ma`ruf, mencegah dari yang mungkar, mendirikan sembahyang, menunaikan zakat,
dan mereka ta`at kepada Allah dan Rasul-Nya. Mereka itu akan diberi rahmat oleh
Allah; sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.”. (QS. At-Taubah: 71)
Syaikh Abdus Salam bin Barjas Alu Abdil
Karim -rahimahullah-
berkata, “Sungguh Allah telah membedakan antara orang orang mukmindengan
orang orang munafiq dengan amar ma’ruf (mencintai hal yang baik) dan nahi
mungkar (mengingkari kemungkaran). Hal itu menunjukan ciri khas sifat sifat
orang beriman adalah mereka melaksanakan hal itu.” [Lihat Mu’amalah
Al-Hukkam (hal.35)]
Kemudian, mengingkari kemungkaran perlu
didudukkan dengan baik dan diletakan sesuai porsinya. Oleh karena itu, perlu
dibedakan antara mengingkari kemungkaran yang dilakukan oleh penguasa, dengan
mengingkari kemungkaran yang dibuat oleh rakyat. Sedang rakyat pun harus
disikapi dengan baik dan hikmah.
Apa bila anda bertanya tentang metode
syar’i dalam mengingkari penguasa, maka perkara ini telah dijelaskan oleh para
ulama. Dalam pembahasan berikut ini kami akan kupas metode mereka mengingkari,
dan menasihati penguasa. Ini perlu diketahui, karena banyak orang yang tak
paham.
Ibnul Jauziy -rahimahullah- berkata, “perkara
yang dibolehkan dalam amar ma’ruf dan nahi Mungkar hubungannya dengan penguasa,
yaitu memberikan pengertian dan nasihat. Adapun berkata-kata kasar, seperti “Wahai
orang zholim”, “wahai orang yang tidak takut kepada Allah!” Jika hal itu
menggerakan/membangkitkan fitnah (musibah) yang menyebabkan kejelekannya
tertular kepada orang lain, maka tidak boleh dilakukan. Jika ia tidak takut,
kecuali atas dirinya, maka boleh menurut jumhur ulama. Menurut pendapatku, hal
itu terlarang.” [ Lihat Al- Adab Asy-Syari’ah (1/195-197)]
Ibnu An-Nuhhas Asy-Syafi’iy -rahimahullah- berkata, “Seseorang
yang menasehati penguasa hendaknya memilih pembicaraan empat mata bersama
penguasa dibandingkan berbicara bersamanya di depan publik, bahkan diharapkan
andaikan ia berbicara dengan penguasa secara sirr ((rahasia), dan menasehatinya
secara tersembunyi, tanpa pihak ketiga.” [Tanbih Al- Ghopilin
(hal. 64)]
Apa yang ditetapkan oleh Ibnul Jauziy,
dan Ibnu An-Nahhas, bahwa menasihati penguasa dengan cara rahasia dan
tersembunyi, ini telah dikuatkan oleh hadits-hadits dan atsar dari Nabi
-Shallallahu 'alaihi wa sallam- , para sahabat, serta para ulama’ Ahlus
Sunnah yang menapaki jalan mereka..
Rasulullah -Shallallahu 'alaihi
wasallam- bersabda,
مَنْ َأَرَادَ أَنْ يَنْصَحَ لِسُلْطَانٍ بِأَمْرٍ فَلا َيُبْدِ لَهُ عَلاَنِيَةً وَلَكِنْ لِيَأْخُذْ بِيَدِهِ فَيَخْلُوْ بِهِ فَإِنْ قَبِلَ مِنْهُ فََذَاكَ وَإِلاَّ كَانَ قَدْ أَدَّى اَلَّذِيْ عَلَيْهِ لَهُ.
“Barangsiapa
ingin menasihati penguasa dalam suatu perkara, maka janganlah ia menampakkan
secara terang terangan. Akan tetapi hendaknya ia ia mengambil tangannya agar ia
bisa berduaan. Jika ia terima ,aka itulah yamg diharap, jika tidak maka sungguh
ia telah menunaikan tugas yan ada pada pundaknya”. [HR Ahmad dalam Al-Musnad (3/403-404)
dan Ibnu Abi Ashim dalam As-Sunnah (1096, 1097, 1098). Hadits ini
di-shohih-kan oleh Syaikh Al-Albaniy dalam Zhilal Al-Jannah
(hal. 514)]
As-Syaukaniy -rahimahullah- berkata, “Sesungguhnya bagi orang
yang nampak baginya kesalahan penguasa dalam sebagian masalah agar ia
menasihati penguasa, dan tidak menampakan celaan padanya didepan publik”. [Lihat
As-Sail Al-Jarrar (4/556)]
Dari sini, kita mengetahui kesalahan fatal
sebagian orang, ketika melihat penguasa bersalah dan bermaksiat, atau
membiarkan kemaksiatan, maka serta-merta mereka mengumpulkan manusia untuk demontrasi
sehingga tersebarlah aib penguasa. Demo sekalipun diniatkan sebagai “nasihat”,
namun tetap salah karena ia merupakan sebuah sarana yang membeberkan aib
penguasa. Oleh karena itu, satu hal yang amat menyayat hati, dan membuat
kita sedih, ketika kita menyaksikan ada sebagian mahasiswa dan masyarakat umum
-bahkan terkadang ia adalah “aktivis dakwah Islam”- memompa, dan mengompori
semangat pemuda-pemuda Islam untuk melakukan demonstrasi.
Al-Allamah Syaikh Abdul ‘Aziz bin Baz -rahimahullah- berkata, “Bukan
termasuk manhaj salaf, membeberkan aib penguasa, dan menyebutkannya di atas mimbar-mimbar,
karena hal itu akan mengantarkan kepada kudeta, tidak mau dengar dan taat dalam
perkara ma’ruf, dan mengantarkan kepada pemberontakan yang merusak dan tidak
membawa manfaat. Tapi metode yang
diikuti di sisi salaf: menasehati secara empat mata, menyurat, dan
menghubungi para ulama yang berhubungan langsung dengannya sehingga
penguasa bisa diarahkan kepada hal yang baik”. [ Lihat Haquq Ar-Ro’iy
wa Ar- Ro’iyyah (27)]
Jadi, seorang yang ingin menasihati
pemerintah, maka ia lakukan dengan cara rahasia, dan empat mata. Bukan
menasihatinya secara terang-terangan di depan publik. Oleh karena itu, termasuk
di antara kesalahan sebagian orang, menasihati penguasa, lalu disebarkan
nasihat dan hasil pertemuannya dengan pemerintah, baik lewat radio, televisi, koran,
majalah, buletin, mimbar, majelis taklim, pertemuan umum, demonstrasi, dan
lainnya.
Diantara metode yang paling buruk dalam
menasihati penguasa, keluar ke jalan-jalan berkonvoi dalam rangka berdemo,
apakah disertai kekacauan, ataukah, tidak!! Dengarkan Al-Faqih Syaikh
Muhammad bin Sholeh Al-‘Utsaimin -rahimahullah- berkata, “Demonstrasi merupakan perkara baru yang
tidak pernah dikenal di zaman Nabi –shollallahu alaih wasallam- , dan tidak
pula di zaman Al-Khulafa’ Ar-Rasyidin dan para sahabat-radhiyallah anhum-.
Kemudian di dalamnya juga terdapat kerusuhan, dan huru-hara yang menjadikannya
terlarang, dimana juga terjadi di dalamnya pemecahan kaca-kaca, pintu-pintu dan
lainnya. Juga terjadi ikhtilath (campur baur) antara pria dan wanita, antara
anak muda dengan orang tua , serta perkara-perkara yang semacamnya, berupa
kerusakan dan kemungkaran.Adapun masalah menekan dan mendesak pemerintah,
maka jika pemerintahnya muslim, cukuplah Kitabullah dan Sunnah Rasul-Nya –Shollallahu
alaih wasallam- sebagai pengingat baginya. Ini merupakan sebaik-baik perkara
(baca:nasihat) yang disodorkan kepada seorang muslim. Jika pemerintahnya
kafir, maka jelas mereka (orang-orang kafir) itu tidak mau mempedulikan para
demonstran. Boleh jadi Pemerintah kafir itu akan bersikap ramah dan baik di
depan para demonstran, sekalipun di batinnya tersembunyi kejelekan. Karenanya,
kami memandang bahwa demo merupakan perkaara munkar. Adapun ucapan
(baca: alasan) mereka: “Inikan demo yang damai (tak ada kerusuhan,pent.)!!”, maka
boleh jadi demonya damai di awalnya atau awal kalinya, kemudian berubah jadi
demo perusakan. Aku nasihatkan kepada para pemuda agar mereka mengikuti
jalan hidupnya para Salaf. Karena Allah telah memuji orang-orang Muhajirin dan Anshor; Allah telah memuji orang-orang
yang mengikuti mereka dalam kebaikan ”. [Lihat Buletin Silsilah
Ad-Difa’ anis Sunnah (7): “Aqwaal ‘Ulama’ As-Sunnah fil Muzhaharat wa maa
Yatarattab Alaih min Mafasid ‘Azhimah”, hal.2-3, cet. Maktabah
Al-Furqon, UEA.]
Alangkah benarnya apa yang dikatakan beliau bahwa
demo-walaupun tanpa kerusuhan- merupakan perkara baru dan bid’ah. Bid’ahnya
orang-orang Khawarij. Anggaplah demo itu damai, akan tetapi itu merupakan
sarana dalam menyebarkan aib penguasa, karena dengan keluarnya seseorang ke
jalan-jalan untuk demo, akan memberikan opini bahwa mereka akan pergi
mengeritik, dan membongkar aib, dan kekurangan penguasa. Membeberkan aib
penguasa muslim merupakan metode lama yang dipergunakan oleh kaum Khawarij yang
suka memberontak.
Al-Hafizh Ibn Hajar Al-Asqolany – rahimahullah-
berkata dalam menjelaskan hakekat orang-orang Al-Qo’diyyah (salah satu
kelompok Khawarij), “Al-Qo’diyyah: adalah kelompok Khawarij yang
tidak memandang (harusnya) memerangi (pemerintah). Bahkan mereka hanya
mengingkari pemerintah yang zholim sesuai kemampuan, mereka mengajak kepada
pendapat mereka, dan juga mereka menghias-hiasi --disamping hal tsb-- untuk
memberontak, serta mengira itu baik” [ Lihat At-Tahdzib (8/114) sebagaimana dalam Lamm Ad-Durr
Al-Mantsur (hal.60) karya Jamal Ibn Furoihan Al-Haritsy, cet. Dar
Al-Minhaj, Mesir.]
Dalam kitabnya yang lain, Al-Hafizh –rahimahullah- berkata,
”Al-Qo’diyyah: adalah orang-orang yang menghias-hiasi pemberontakan atas
pemerintah, sekalipun mereka tidak melakukan (pemberontakan itu) secara
langsung”. [ Lihat Hadyus Sari (459) yang dinukil dari Lamm
Ad-Durr Al-Mantsur, hal.60, cet. Dar Al-Minhaj.]
Jadi, tugas Al-Qo’diyyah dahulu sama persis dengan tugas
sebagian orang yang membakar semangat pemuda-pemuda untuk membangkang, dan
tidak taat kepada pemerintah, bahkan terkadang mengarahkan mereka kepada
pemberontakan fisik lewat ajang demonstrasi. Ini adalah tercela dalam pandangan
ulama’ Ahlus Sunnah berdasarkan dalil-dalil, baik naqli, maupun aqli.
Syaikh Abdul Aziz bin Baz –rahimahullah- berkata: “Aku
tidak memandang bahwa demonya para wanita ataupun demonya para laki-laki
termasuk solusi. Akan tetapi, itu merupakan musibah, dan termasuk sebab
kejelekan; termasuk sebab dizhaliminya sebagian orang, dengan cara yang tak
benar. Akan tetapi cara-cara yang syar’i adalah menyurat, menasihati, berda’wah
kepada kebaikan dengan cara damai. Demikianlah yang ditempuh para ulama; demikianlah
para sahabat Nabi –Shallallahu alaih wasallam- dan para pengikut mereka dalam
kebaikan : dengan cara menyurat, berbicara langsung dengan orang yang
berbuat salah, dengan pemerintah, dan penguasa dengan menghubunginya, menasihatinya,
dan menyuratinya tanpa membeberkannya di atas mimbar dan lainnya!! Katanya,
“Pemerintah melakukan begini dan begini!!”. Akhirnya, hasilnya begini
(kerusakan), Wallahul Musta’an“.
Beliau juga berkata: “Dikategorikan
dalam masalah ini (kesalahan dalam menasihati penguasa), apa yang dilakukan
oleh sebagian orang berupa demo yang menimbulkan keburukan yang besar
bagi para da’i. Jadi, karnaval dan teriak-teriakan bukanlah merupakan jalan
untuk memperbaiki dan da’wah. Jalan yang benar (dalam menasihati
pemerintah,pent.) adalah dengan cara berziarah dan menyurati dengan cara yang
baik”. [ Lihat Buletin Silsilah Ad-Difa’
(7) (hal.1-2),cet. Maktabah Al-Furqon, UEA]
Sumber ( Buletin at Tauhid | Gowa | Sulawesi selatan )
Tidak ada komentar:
Posting Komentar