عَنْ أَمِيْرِ
الْمُؤْمِنِيْنَ أَبِيْ حَفْصٍ عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ
: سَمِعْتُ رَسُوْلَ اللهِ صلى الله عليه وسلم يَقُوْلُ : إِنَّمَا اْلأَعْمَالُ
بِالنِّيَّاتِ وَإِنَّمَا لِكُلِّ امْرِئٍ مَا نَوَى فَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ
إِلَى اللهِ وَرَسُوْلِهِ فَهِجْرَتُهُ إِلَى اللهِ وَرَسُوْلِهِ، وَمَنْ كَانَتْ
هِجْرَتُهُ لِدُنْيَا يُصِيْبُهَا أَوْ امْرَأَةٍ يَنْكِحُهَا فَهِجْرَتُهُ إِلَى
مَا هَاجَرَ إِلَيْهِ
Terjemah Hadits
Dari Amirul Mu’minin, Abi Hafs Umar bin Al Khattab –radiallahuanhu-, dia berkata:
Saya mendengar Rasulullah -shallallahu’alaihi
wasallam-
bersabda :
“Sesungguhnya
setiap perbuatan ada niatnya. Dan sesungguhnya
setiap orang (akan dibalas) berdasarkan apa yang dia niatkan. Siapa
yang hijrahnya karena (ingin mendapatkan keridhaan) Allah dan Rasul-Nya, maka
hijrahnya kepada (keridhaan) Allah dan Rasul-Nya. Dan siapa yang hijrahnya
karena dunia yang dikehendakinya atau karena wanita yang ingin dinikahinya maka
hijrahnya (akan bernilai sebagaimana) yang dia niatkan”.
[Riwayat dua
imam hadits, Abu Abdullah Muhammad bin Isma’il bin Ibrahim bin Al Mughirah bin
Bardizbah Al Bukhori dan Abu Al Husain, Muslim bin Al Hajjaj bin Muslim Al
Qusyairi An Naishaburi dan kedua kitab Shahihnya yang merupakan kitab yang
paling shahih yang pernah dikarang]
Sahabat Periwayat Hadits
Umar bin Khaththab adalah sahabat Rasulullah –shallallahu 'alaihi
wasallam- yang mulia. Beliau adalah amirul mu'minin dan khalifah kaum
muslimin yang kedua. Digelari al Faruq dan orang dari suku Quraisy yang mulia.
Masuk Islam
pada tahun kelima atau keenam setelah Rasulullah diangkat menjadi
rasul. Masuknya beliau ke dalam Islam merupakan kemulyaan bagi kaum muslimin. Umar bin Khatthab mengikuti seluruh perang dan diserahi kekhalifahan setelah meninggalnya Abu Bakr ash Shiddiq dengan penunjukan dari beliau –radhiyallahu 'anhu-. Lalu Umar pun menunaikanya dengan sebaik-baiknya. Pada akhir bulan Dzulhijjah tahun 23 Hijriyah beliau ditikam oleh pemuda Majusi (Abu Lu’lu’ah Fairuz, budak al-Mugirah –pent-) ketika beliau bertakbir untuk shalat Shubuh lalu beliau dibawa ke rumahnya –radhiyallahu 'anhu-. Beliaupun meninggal setelah 3 malam setelah peristiwa tersebut di tahun 23 Hijriyah dan dikebumikan bersama Rasulullah dan Abu Bakr di kamar Aisyah –radhiyallahu 'anha-. Beliau memimpin kekhalifahan selama 10 tahun 6 bulan beberapa hari –semoga Allah meridhai beliau- [Kitab Tanbihul afham tulisan Ibnu Utsaimin: 1/13]
Kedudukan Hadits
Hadits ini merupakan hadits yang ringkas namun memiliki makna yang dalam
dan luas. Demikian itu karena salah satu kelebihan rasulullah yang Allah
berikan adalah sifat “Jawami’ul Kalim”. Jawami’ul Kalim adalah ucapan ringkas
namun memiliki makna yang luas. Diriwayatkan dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah
–shallallahu ‘alaihi wasallam- bersabda :
فُضِّلْتُ عَلَى الْأَنْبِيَاءِ بِسِتٍّ: أُعْطِيتُ جَوَامِعَ الْكَلِمِ، وَنُصِرْتُ بِالرُّعْبِ، وَأُحِلَّتْ لِيَ الْغَنَائِمُ، وَجُعِلَتْ لِيَ الْأَرْضُ طَهُورًا وَمَسْجِدًا، وَأُرْسِلْتُ إِلَى الْخَلْقِ كَافَّةً، وَخُتِمَ بِيَ النَّبِيُّونَ
“Aku diberi
keutamaan atas para nabi dengan enam perkara: pertama, aku diberi Jawami’
al-Kalim. Kedua, aku ditolong dengan rasa takut (yang dihunjamkan di dada-dada
musuhku). Ketiga, ghanimah dihalalkan untukku. Keempat, bumi dijadikan suci
untukku dan juga sebagai masjid. Kelima, aku diutus kepada seluruh makhluk.
Keenam, para nabi ditutup dengan kerasulanku” (HR.
Muslim)
Berkata Imam Syafi’i [1] :”Hadits ini masuk dalam
70 bab masalah fiqih”. Bahkan Imam Nawawiy –rahimahullah- berkata :”Bukanlah
maksud Imam Syafi’i membatasi bab-bab fiqih hanya dengan jumlah ini, namun
bab-bab tersebut lebih dari itu”. Kata Imam Syaukaniy –rahimahullah- :”Hadits ini
adalah salah satu qaidah dari qaidah-qaidah agama, sehingga ada yang mengatakan
bahwa hadit ini adalah sepertiga ilmu” (Qawa’id wa Fawa’id min Arbai’in an
Nawawiyah : 23). Karena tingginya nilai hadits ini, maka sebagian ulama
mengawali tulisan-tulisan mereka dengan hadits ini, untuk mengingatkan para
penuntut ilmu agar memperbaiki niat dan meluruskannya. Diantara para ulama yang
mengawali tulisan mereka dengan hadits ini adalah Imam al Bukhari[2] –rahimahullah- pada kitab
shahihnya, begitu pula Syeikh Abdul Ghaniy bin Abdil Wahid al Maqdisi[3], demikian pula Assuyuti[4] dalam kitabnya “Jami ash Shaghir” dan juga Imam an Nawawiy [5]dalam “al Majmu’ Syarh
Muhadzdzab”.
Makna Hadits Secara Global
Haditst ini adalah keterangan yang agung dalam pembahasan amalan hati, ini
karena niat termasuk amalan hati. Dari sini nampak kekeliruan sebagian orang
yang memandang wajibnya atau sunnahnya melafadzkan dan mengucapkan niat dalam
ibadah. Contongnya : lafadz niat dalam wudhu, shalat, puasa, dan lain-lain. Selain
karena hal itu tak ada contohnya dari agama, juga dikarenakan niat bukanlah
amalan lisan, tapi amalan hati. Berkata para ulama :" Hadits ini senilai dengan setengah ibadah" karena
hadits ini adalah timbangan bagi amalan yang tak nampak atau
disebut amalan hati. Adapun hadits aisyah –radhiyallahu 'anha- yang berbunyi :
مَنْ عَمِلَ عَمَلًا لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ
"Barangsiapa yang beramal suatu amalan yang
tidak kami perintahkan, maka amalan tersebut tertolak" [HR. Muslim no. 1718] adalah timbangan amalan yang
nampak (dhahir) atau dikenal dengan amalan badan.
Hadits ini memberikan
faidah bahwa tidak ada satupun amalan kecuali padanya ada niatnya. Ini ditunjukkan
dengan kalimat " sesungguhnya setiap
perbuatan ada niatnya". Karena setiap manusia yang berakal
dan bukan dalam keadaan terpaksa tidaklah mungkin melakukan perbuatan tanpa
niat. Jika seseorang melakukan perbuatan tanpa niat, maka kemungkinan orang itu
tidak sadar atau ia dalam keadaan dipaksa dan tidak mampu menolak.
Sampai-sampai di kalangan ulama ada yang berkata : "seandainya Allah
membebani kita untuk melakukan amalan yang tidak memiliki niat, maka sungguh ia
akan menjadi amalan yang tak mampu dilakukan". Faidah ini merupakan
bantahan kepada mereka yang selalu mengulang-ulang amalannya karena merasa
belum berniat. Seperti orang mengulang takbiratul ikhram dalam
shalat ketika ia merasa ragu bahwa ia belum berniat. Ini bisikan syaithan yang melemparkan
keraguan ke dalam dada manusia. Syaithan mengatakan :"kamu belum
berniat..!". Maka bantahlah bisikan itu dengan mengatakan :"tidak
mungkin aku mengamalkan perbuatan tanpa niat" lalu tinggalkanlah bisikan
tersebut.
Coba anda bayangkan
jika seorang telah berwudhu untuk shalat lalu iapun shalat dan merasa bahwa ia
belum berniat, lalu iapun melafadzkan niatnya. Bukankah ini sangat aneh ?
Kenapa aneh ? karena
orang yang berwudhu untuk shalat berarti ia sedang berniat untuk shalat. Itilah
yang dinamakan sengan niat. Semoga Allah merahmati anda untuk memahami apa yang
hal tersebut.
Pelajaran Penting Hadits ini
Hadits tentang niat ini
memberikan kita banyak pelajaran diantaranya :
1. Tidak ada amalan kecuali pasti ada
niatnya.
2. Amalan tergantung niatnya.
3. Pahala orang yang beramal sesuai dengan
niatnya.
4. Boleh dan bagusnya seorang guru
menggambarkan sesuatu dengan permisalan.
5. Seseorang diberi ganjaran dan siksa
sesuai dengan niatnya.
6. Amalan yang asalnya mubah bisa menjadi
amal ketaatan jika seseorang meniatkannya untuk kebaikan. Seperti makan dan
minum yang diniatkan untuk menambah kekuatan dalam ibadah.
7. Hadits ini masuk dalam bab ibadah,
mu'amalah dan seluruh bab dalam pembahasan fiqih.
Referensi
1. Fath al Qawiy al
Matin Fii Syarh al Arba'in oleh Syeikh Abdul Muhsin al Abbad
2. at Ta'liqat 'ala al
Arba'in an Nawawiyah oleh Syeikh Muhammad bin Shalih al Utsaimin
3. Tanbih al Afham oleh
Syeikh Muhammad bin Shalih al Utsaimin
4. Shahih Muslim oleh
Imam Abu al Husain Muslim bin Hajjaj
5 Shahih Bukhari oleh Imam Abu Abdillah Muhammad
bin Ismail bin Ibrahim al Bukhari
6. Qawaid wa Fawaid min
al Arba'in an Nawawiyah oleh Nadzim Muhammad Sulthan
[Tulisan Abu Ubaidillah al_Atsariy | th 2014]
[2] Nama beliau adalah Abu Abdillah Muhammad bin
Ismail bin Ibrahim bin Mughirah al Bardizbah, ulama ahli hadits pengarang kita
Shahih Bukhari. Beliau meninggal pada tahun 256 H di daerah Samarkand.
[3] Abdul Ghaniy bin
Abdil Wahid al Maqdisi taqiyuddin abu Muhammad al Hambaliy, meninggal tahun 600
H
[4] Abul Fadl Abdurrahman bin Kamaluddin Abu Bakr bin Muhammad,
Jalaluddin al-Misri as-Suyuthi asy-Syafi'i lahir 849H -
wafat 911H
[5] Abu Zakaria Muhyuddin bin Syaraf an-Nawawi ad-Dimasyqi,
meninggal pada 24 Rajab
676 H
Tidak ada komentar:
Posting Komentar