8 Desember 2014

Tergantung Niatnya !

عَنْ أَمِيْرِ الْمُؤْمِنِيْنَ أَبِيْ حَفْصٍ عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ : سَمِعْتُ رَسُوْلَ اللهِ صلى الله عليه وسلم يَقُوْلُ : إِنَّمَا اْلأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ وَإِنَّمَا لِكُلِّ امْرِئٍ مَا نَوَى فَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ إِلَى اللهِ وَرَسُوْلِهِ فَهِجْرَتُهُ إِلَى اللهِ وَرَسُوْلِهِ، وَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ لِدُنْيَا يُصِيْبُهَا أَوْ امْرَأَةٍ يَنْكِحُهَا فَهِجْرَتُهُ إِلَى مَا هَاجَرَ إِلَيْهِ
Terjemah Hadits
Dari Amirul Mu’minin, Abi Hafs Umar bin Al Khattab radiallahuanhu-, dia berkata: Saya mendengar Rasulullah -shallallahu’alaihi wasallam- bersabda :
Sesungguhnya setiap  perbuatan ada niatnya.  Dan  sesungguhnya  setiap  orang  (akan dibalas) berdasarkan apa yang dia niatkan. Siapa yang hijrahnya karena (ingin mendapatkan keridhaan) Allah dan Rasul-Nya, maka hijrahnya kepada (keridhaan) Allah dan Rasul-Nya. Dan siapa yang hijrahnya karena dunia yang dikehendakinya atau karena wanita yang ingin dinikahinya maka hijrahnya (akan bernilai sebagaimana) yang dia niatkan.
[Riwayat dua imam hadits, Abu Abdullah Muhammad bin Isma’il bin Ibrahim bin Al Mughirah bin Bardizbah Al Bukhori dan Abu Al Husain, Muslim bin Al Hajjaj bin Muslim Al Qusyairi An Naishaburi dan kedua kitab Shahihnya yang merupakan kitab yang paling shahih yang pernah dikarang]

Sahabat Periwayat Hadits
Umar bin Khaththab adalah sahabat Rasulullah –shallallahu 'alaihi wasallam- yang mulia. Beliau adalah amirul mu'minin dan khalifah kaum muslimin yang kedua. Digelari al Faruq dan orang dari suku Quraisy yang mulia. Masuk Islam
pada tahun kelima atau keenam setelah Rasulullah diangkat menjadi rasul.
Masuknya beliau ke dalam Islam merupakan kemulyaan bagi kaum muslimin. Umar bin Khatthab mengikuti seluruh perang dan diserahi kekhalifahan setelah meninggalnya Abu Bakr ash Shiddiq dengan penunjukan dari beliau –radhiyallahu 'anhu-. Lalu Umar pun menunaikanya dengan sebaik-baiknya. Pada akhir bulan Dzulhijjah tahun 23 Hijriyah beliau ditikam oleh pemuda Majusi (Abu Lu’lu’ah Fairuz, budak al-Mugirah –pent-) ketika beliau bertakbir untuk shalat Shubuh lalu beliau dibawa ke rumahnya –radhiyallahu 'anhu-. Beliaupun meninggal setelah 3 malam setelah peristiwa tersebut di tahun 23 Hijriyah dan dikebumikan bersama Rasulullah dan Abu Bakr di kamar Aisyah –radhiyallahu 'anha-. Beliau memimpin kekhalifahan selama 10 tahun 6 bulan beberapa harisemoga Allah meridhai beliau- [Kitab Tanbihul afham tulisan Ibnu Utsaimin: 1/13]
Kedudukan Hadits
Hadits ini merupakan hadits yang ringkas namun memiliki makna yang dalam dan luas. Demikian itu karena salah satu kelebihan rasulullah yang Allah berikan adalah sifat “Jawami’ul Kalim”. Jawami’ul Kalim adalah ucapan ringkas namun memiliki makna yang luas. Diriwayatkan dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wasallam- bersabda :
فُضِّلْتُ عَلَى الْأَنْبِيَاءِ بِسِتٍّ: أُعْطِيتُ جَوَامِعَ الْكَلِمِ، وَنُصِرْتُ بِالرُّعْبِ، وَأُحِلَّتْ لِيَ الْغَنَائِمُ، وَجُعِلَتْ لِيَ الْأَرْضُ طَهُورًا وَمَسْجِدًا، وَأُرْسِلْتُ إِلَى الْخَلْقِ كَافَّةً، وَخُتِمَ بِيَ النَّبِيُّونَ
Aku diberi keutamaan atas para nabi dengan enam perkara: pertama, aku diberi Jawami’ al-Kalim. Kedua, aku ditolong dengan rasa takut (yang dihunjamkan di dada-dada musuhku). Ketiga, ghanimah dihalalkan untukku. Keempat, bumi dijadikan suci untukku dan juga sebagai masjid. Kelima, aku diutus kepada seluruh makhluk. Keenam, para nabi ditutup dengan kerasulanku (HR. Muslim)

Berkata Imam Syafi’i [1] :”Hadits ini masuk dalam 70 bab masalah fiqih”. Bahkan Imam Nawawiy –rahimahullah- berkata :”Bukanlah maksud Imam Syafi’i membatasi bab-bab fiqih hanya dengan jumlah ini, namun bab-bab tersebut lebih dari itu”. Kata Imam Syaukaniy –rahimahullah- :”Hadits ini adalah salah satu qaidah dari qaidah-qaidah agama, sehingga ada yang mengatakan bahwa hadit ini adalah sepertiga ilmu” (Qawa’id wa Fawa’id min Arbai’in an Nawawiyah : 23). Karena tingginya nilai hadits ini, maka sebagian ulama mengawali tulisan-tulisan mereka dengan hadits ini, untuk mengingatkan para penuntut ilmu agar memperbaiki niat dan meluruskannya. Diantara para ulama yang mengawali tulisan mereka dengan hadits ini adalah Imam al Bukhari[2] –rahimahullah- pada kitab shahihnya, begitu pula Syeikh Abdul Ghaniy bin Abdil Wahid al Maqdisi[3], demikian pula Assuyuti[4] dalam kitabnya  “Jami ash Shaghir” dan juga Imam an Nawawiy [5]dalam “al Majmu’ Syarh Muhadzdzab”.
Makna Hadits Secara Global
Haditst ini adalah keterangan yang agung dalam pembahasan amalan hati, ini karena niat termasuk amalan hati. Dari sini nampak kekeliruan sebagian orang yang memandang wajibnya atau sunnahnya melafadzkan dan mengucapkan niat dalam ibadah. Contongnya : lafadz niat dalam wudhu, shalat, puasa, dan lain-lain. Selain karena hal itu tak ada contohnya dari agama, juga dikarenakan niat bukanlah amalan lisan, tapi amalan hati. Berkata para ulama :" Hadits ini  senilai dengan setengah ibadah" karena hadits ini adalah timbangan bagi amalan yang tak nampak atau disebut amalan hati. Adapun hadits aisyah –radhiyallahu 'anha- yang berbunyi :
مَنْ عَمِلَ عَمَلًا لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ
"Barangsiapa yang beramal suatu amalan yang tidak kami perintahkan, maka amalan tersebut tertolak" [HR. Muslim no. 1718] adalah timbangan amalan yang nampak (dhahir) atau dikenal dengan amalan badan.
Hadits ini memberikan faidah bahwa tidak ada satupun amalan kecuali padanya ada niatnya. Ini ditunjukkan dengan kalimat " sesungguhnya setiap  perbuatan ada niatnya". Karena setiap manusia yang berakal dan bukan dalam keadaan terpaksa tidaklah mungkin melakukan perbuatan tanpa niat. Jika seseorang melakukan perbuatan tanpa niat, maka kemungkinan orang itu tidak sadar atau ia dalam keadaan dipaksa dan tidak mampu menolak. Sampai-sampai di kalangan ulama ada yang berkata : "seandainya Allah membebani kita untuk melakukan amalan yang tidak memiliki niat, maka sungguh ia akan menjadi amalan yang tak mampu dilakukan". Faidah ini merupakan bantahan kepada mereka yang selalu mengulang-ulang amalannya karena merasa belum berniat. Seperti orang mengulang takbiratul ikhram dalam shalat ketika ia merasa ragu bahwa ia belum berniat. Ini bisikan syaithan yang melemparkan keraguan ke dalam dada manusia. Syaithan mengatakan :"kamu belum berniat..!". Maka bantahlah bisikan itu dengan mengatakan :"tidak mungkin aku mengamalkan perbuatan tanpa niat" lalu tinggalkanlah bisikan tersebut.
Coba anda bayangkan jika seorang telah berwudhu untuk shalat lalu iapun shalat dan merasa bahwa ia belum berniat, lalu iapun melafadzkan niatnya. Bukankah ini sangat aneh ?
Kenapa aneh ? karena orang yang berwudhu untuk shalat berarti ia sedang berniat untuk shalat. Itilah yang dinamakan sengan niat. Semoga Allah merahmati anda untuk memahami apa yang hal tersebut.
Pelajaran Penting Hadits ini
Hadits tentang niat ini memberikan kita banyak pelajaran diantaranya :

1. Tidak ada amalan kecuali pasti ada niatnya.
2. Amalan tergantung niatnya.
3. Pahala orang yang beramal sesuai dengan niatnya.
4. Boleh dan bagusnya seorang guru menggambarkan sesuatu dengan permisalan.
5. Seseorang diberi ganjaran dan siksa sesuai dengan niatnya.
6. Amalan yang asalnya mubah bisa menjadi amal ketaatan jika seseorang meniatkannya untuk kebaikan. Seperti makan dan minum yang diniatkan untuk menambah kekuatan dalam ibadah.
7. Hadits ini masuk dalam bab ibadah, mu'amalah dan seluruh bab dalam pembahasan fiqih.
 Referensi
1. Fath al Qawiy al Matin Fii Syarh al Arba'in oleh Syeikh Abdul Muhsin al Abbad
2. at Ta'liqat 'ala al Arba'in an Nawawiyah oleh Syeikh Muhammad bin Shalih al Utsaimin
3. Tanbih al Afham oleh Syeikh Muhammad bin Shalih al Utsaimin
4. Shahih Muslim oleh Imam Abu al Husain Muslim bin Hajjaj
5  Shahih Bukhari oleh Imam Abu Abdillah Muhammad bin Ismail bin Ibrahim al Bukhari
6. Qawaid wa Fawaid min al Arba'in an Nawawiyah oleh Nadzim Muhammad Sulthan

[Tulisan Abu Ubaidillah al_Atsariy | th 2014] 




[1] Beliau adalah Muhammad bin Idris bin ‘abbas bin Utsman Abu ‘Abdillah Asy Syafi’i salah seorang ulama Ahlussunnah wal Jama’ah dan Imam Mdzhab yang terkenal. Beliau Lahir di Gaza, Palestina, 150 H / 767M dan meninggal di Fusthat, Mesir 204H / 819M.
[2] Nama beliau adalah Abu Abdillah Muhammad bin Ismail bin Ibrahim bin Mughirah al Bardizbah, ulama ahli hadits pengarang kita Shahih Bukhari. Beliau meninggal pada tahun 256 H di daerah Samarkand.
[3] Abdul Ghaniy bin Abdil Wahid al Maqdisi taqiyuddin abu Muhammad al Hambaliy, meninggal tahun 600 H
[4] Abul Fadl Abdurrahman bin Kamaluddin Abu Bakr bin Muhammad, Jalaluddin al-Misri as-Suyuthi asy-Syafi'i lahir 849H - wafat 911H
[5] Abu Zakaria Muhyuddin bin Syaraf an-Nawawi ad-Dimasyqi, meninggal pada 24 Rajab 676 H

Tidak ada komentar:

Posting Komentar