Berbicara tentang La Ilaha Illallah adalah berbicara tentang sesuatu yang agung, karena kalimat tersebut adalah kalimat yang menjadi sebab diciptakannya alam semesta. Pada pembahasan sebelumnya kita telah menjelaskan tentang makna tauhid. Namun –para pembaca sekalian- makna itu tidak akan bermakna jika Allah tidak menerimanya, tidak meridhainya, dan tidak mencintainya. Oleh karena itu seorang muslim hendaklah mengetahui syarat-syarat kalimat yang agung ini. Karena sesuatu yang tak memenuhi syarat tentunya tidak akan diterima dan akan menjadi sesuatu yang sia-sia. Berikut kami sebutkan syarat-syarat Ilaha Illallah sebagaimana termaktub dalam al Qur’an dan Hadits-hadits.
Syarat PertamaMengetahui atau mengilmui makna - لا إله إلا الله – baik makna penafian (peniadaan) atau makna itsbat (penetapan).
Perlu anda
ketahui _semoga Allah merahmati anda_ bahwa dalam
kaliamat La Ilaha Illah ada kalimat peniadaan, artinya kita meniadakan dari
diri kita penyembahan kepada selain Allah. Ini ditunjukkan dengan kalimat La
Ilaha (لا إله) “tiada sesembahan yang berhak disembah..”
Kemudian selanjutnya makna penetapan (Itsbat) yaitu
kalimat yang mengharuskan kita menetapkan penyembahan dan ibadah hanya untuk
Allah –subhanahu wata’ala-. Dan ini ditunjukkan oleh kalimat Illallah (إلا الله). Dalam al
Qur’an Allah berfirman :
فَاعْلَمْ أَنَّهُ لا إِلَهَ إِلا اللَّهُ.....
“Ketahuilah, bahwa sesungguhnya tidak ada yang berhak
diibadahi melainkan Alloh…”
(QS. Muhammad : 19)
Kalimat ‘ketahuilah’ menunjukkan perintah
untuk mengetahui, sehingga ini mengharuskan kita untuk mengilmui kalimat ini
dengan cara mempelajarinya.
Dari sahabat Utsman bin Affan –radhiyallalhu
‘anhu- berkata :
مَنْ مَـاتَ وَهُوَ يَعْلَمُ أَنَّـهُ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ دَخَلَ الْجَنَّــةَ
“Barangsiapa
yang mati dalam keadaan ia mengetahui bahwa tidak ada yang berhak diibadahi
kecuali Allah, maka dia akan masuk surga” ( HR. Muslim nomor 26)
Syarat KeduaYakin yang akan menghilangkan keraguan
Yaitu
orang yang mengucapakkan kalimat - لا إله إلا الله
– harus dalam keadaan menyakini apa yang
ditunjukkan oleh kalimat - لا إله إلا الله
– dengan keyakinan yang pasti, karena keimanan tidak
akan bermanfaat kecuali dengan ilmu yakin,
bukan dengan persangkaan, lebih-lebih jika dimasuki oleh keragu-raguan. Keragu-raguan mendatangkan ketidakpastian. Sedangkan ilmu
adalah kepastian, sehingga ilmu mendatangkan keyakinan.
Alloh
–subhanahu wata’ala- berfirman :
إِنَّمَا الْمُؤْمِنُونَ الَّذِينَ آمَنُوا بِاللَّهِ وَرَسُولِهِ ثُمَّ لَمْ يَرْتَابُوا وَجَاهَدُوا بِأَمْوَالِهِمْ وَأَنْفُسِهِمْ فِي سَبِيلِ اللَّهِ أُولَئِكَ هُمُ الصَّادِقُونَ
“Sesungguhnya orang-orang yang beriman hanyalah orang-orang
yang beriman kepada Allah dan Rasul-Nya kemudian mereka tidak ragu-ragu
dan mereka berjihad dengan harta dan jiwa mereka pada jalan Alloh, mereka
itulah jujur (keimanannya)” (QS. Al Hujurot : 15)
Dalam ayat ini Alloh –subhanahu wata’ala- mensyaratkan kejujuran dalam keimanan mereka
kepada Alloh dan RosulNya yaitu dengan cara tidak ragu, adapun orang
yang ragu (dalam keimanannya) mereka termasuk orang-orang munafiq –kita
berlindung kepada Alloh dari kemunafikan- dimana Alloh –subhanahu
wata’ala- berfirman tentang orang-orang
munafiq :
إِنَّمَا يَسْتَأْذِنُكَ الَّذِينَ لا يُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ وَارْتَابَتْ قُلُوبُهُمْ فَهُمْ فِي رَيْبِهِمْ يَتَرَدَّدُونَ
“Sesungguhnya yang akan meminta izin (tidak ikut berjihad)
kepadamu , hanyalah orang-orang yang tidak beriman kepada Alloh dan hari kemudian,
dan hati mereka ragu-ragu, karena itu mereka selalu bimbang dalam
keragu-raguannya” (QS. At Taubah : 45)
Keraguan mereka menunjukkan ketidak berimanan
mereka. Ini tanda bahwa keimanan disyaratkan adanya keyakinan yang menghilangkan
keraguan.
Dari Abu hurairoh –radhiyallalhu ‘anhu- ia berkata : rosululloh –shallallahu ‘alaihi wasallam-
bersabda :
مَنْ لَقِيْتَ مِنْ وَرِاءِ هَذَا الْحَائِطِ يَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلا اللَّهُ مُسْتَيْقِنًا بِهَا قَلْبُهُ فَبَشِّرْهُ بِالْجَنَّــةَ
“Barangsiapa yang engkau temui dari balik dinding ini
yang bersaksi bahwa tidak ada yang berhak diibadahi kecuali Allah
dalam keadaan hatinya yakin, maka berilah kabar gembira dengan surga” (HR. Muslim nomor 31)
Maka syarat masuk surga bagi yang mengucapkan - لا إله إلا الله - yaitu dalam keadaan hatinya menyakini kalimat tersebut
tanpa ada keragu-raguan dalam mengucapkannya. Kalau
syarat tidak ada, maka yang disyaratkan juga akan hilang.
Syarat KetigaMenerima konsekwensi kalimat - لا إله إلا الله - dengan hati dan lisannya yang akan menghilangkan sifat menolak.
Orang yang mengucapkan kalimat tauhid La Ilaha Illallah wajib
menerima konsekwensi dari kalimat tersebut. Tidak diperbolehkan adanya penolakan
sedikitpun terhadap konsekwensi yang ditimbulkan oleh kalimat tauhid tadi.
Allah –subhanahu wata’ala- berfirman :
إِنَّهُمْ كَانُوا إِذَا قِيلَ لَهُمْ لا إِلَهَ إِلا اللَّهُ يَسْتَكْبِرُونَ(35) وَيَقُولُونَ أَئِنَّا لَتَارِكُو آلِهَتِنَا لِشَاعِرٍ مَجْنُونٍ(36)
“Sesungguhnya mereka dahulu apabila dikatakan kepada mereka:
"Laa ilaaha illallah" mereka menyombongkan diri. Dan mereka berkata:
"Apakah kami harus meninggalkan sembahan-sembahan kami untuk mengikuti
seorang penyair gila?" (QS. Ash Shoffat : 35-36)
Orang-orang musyrik menyombongkan diri terhadapa
kalimat "Laa ilaaha
illallah" dengan enggannya
mereka mengucapkannya. Bahkan mereka menyombokan dan membanggakan sesembahan mereka.
Dari Abu Musa al Asy’ari –radhiyallalhu ‘anhu- ia berkata : rosulullah –shallallahu
‘alaihi wasallam- bersabda
:
(..فَذَلِكَ مِثْلُ مَنْ فَقِهَ فِيْ دِيْنِ اللهِ وَ نَفَعَهُ مَا بَعَثَـنِيَ اللهُ بِهِ مِنَ الْهُدَى وَ الْعِلْمِ, فَعَلِمَ وَ عَلَّمَ, وَ مِثْلُ مَنْ لَمْ يَرْفَعْ بِذَلِكَ رَأْسًا وَ لَمْ يَقْبَلْ هُدَى اللهِ الَّذِيْ أُرْسِلْتُ بِهِ)
“ ….Hal
tersebut seperti permisalan orang yang memahami urusan agama Allah dan memberikan manfaat kepadanya
apa yang Allah
mengutusku dengannya berupa petunjuk dan ilmu maka ia berilmu dan mengajarkan
ilmunya dan permisalan orang yang tidak mau mengangkat kepala dan tidak
mau menerima petunjuk Allah
yang aku diutus dengan petunjuk tersebut” (HR. Bukhori /79
dan Muslim /2282)
Syarat KeempatTunduk dan pasrah kepada apa yang ditunjukkan oleh kalimat - لا إله إلا الله -yang akan menghilangkan sifat meninggalkan.
Alloh
–subhanahu wata’ala- berfirman :
وَمَنْ يُسْلِمْ وَجْهَهُ إِلَى اللَّهِ وَهُوَ مُحْسِنٌ فَقَدِ اسْتَمْسَكَ بِالْعُرْوَةِ الْوُثْقَى
“Dan barang siapa yang menyerahkan dirinya kepada Allah, sedang dia orang yang berbuat kebaikan, maka sesungguhnya ia
telah berpegang kepada tali yang kokoh” (QS. Luqman : 22)
Dan makna menyerahkan dirinya kepada Allah adalah tunduk (kapadaNya). Dan makna orang yang berbuat
kebaikan adalah orang yang mentauhidkan Allah. Dan
makna tali yang kokoh adalah kalimat - لا إله إلا الله
-. Allah
–subhanahu wata’ala- berfirman :
وَأَنِيبُوا إِلَى رَبِّكُمْ وَأَسْلِمُوا لَهُ مِنْ قَبْلِ أَنْ يَأْتِيَكُمُ الْعَذَابُ ثُمَّ لا تُنْصَرُونَ
“Dan kembalilah kamu kepada Robbmu, dan berserah dirilah kepada-Nya
sebelum datang azab kepadamu kemudian kamu tidak dapat ditolong (lagi)” (QS. azZumar : 54)
Maksudnya “kembalilah kalian kepada Robb kalian dan
pasrahkanlah diri kalian kepadaNya”
Dari Abdulloh bin
Amr –radhiyallalhu ‘anhu- meriwayatkan
secara marfu :
لَا يُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ حَتَّى يَكُوْنَ هَوَاهُ تَبِعًا لِمَا جِئْتُ بِهِ
“Tidak beriman salah seorang kalian hingga hawa nafsunya mengikuti
apa yang aku (rasulullah) bawa”
Berkata Imam Nawawiy di dalam kitab “al Arba’in” pada nomor hadits 41 :
”Hadits Hasan Shohih yang kami riwayatkan di dalam kitab “al Hujjah” dengan
sanad yang shohih”.
Hadits ini juga
dishohihkan oleh asy syaikh alhafidz alHakami di dalam kitabnya Ma’arijul Qobul
2/422. Dan sungguh Ibnu Katsir juga berhujjah dengan hadits ini dalam menafsirkan
ayat :
وَمَا كَانَ لِمُؤْمِنٍ وَلا مُؤْمِنَةٍ إِذَا قَضَى اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَمْرًا أَنْ يَكُونَ لَهُمُ الْخِيَرَةُ مِنْ أَمْرِهِمْ
“Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mukmin dan tidak (pula)
bagi perempuan yang mukmin, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu
ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka..”(QS.
Al Ahzab : 36)
Begitu pula syaikh Muhammad bi Abdul wahhab attamimiy –Semoga Allah –subhanahu wata’ala- merahmati beliau-. Lihat kitab “al Waajibat al Mutahattimat li
Ma’rifatil umuur al Muhimmat” hal : 8.
Dalam sanad hadits tersebut ada
yang bernama ‘Nu’aim bin Hammad al Khozaa’i dimana sebagian ahlul hadits
melemahkannya dan sebagian lain menguatkannya. Hadits ini adalah hadits yang
hasan jika ia tidak termasuk yang diingkari oleh ulama ahli hadits dari riwayat
Nu’aim bin Hammad al Khozaa’i. Sungguh Ibnu ‘adiy telah menyebutkan didalam
kitabnya “al Kamil” apa yang beliau ingkari dari hadits Nu’aim bin Hammad dan
beliau tidak menyebutkan hadits ini, dan beliau berkata di akhir kitabnya
:”saya berharap hadits-haditsnya yang lain ‘mustaqim’ (terhindar dari
kelemahan-pent-) 7/2485.
Berkata Imam Ibnu hajar didalam
kitabnya “at Tahdzib” 10/463 “sungguh telah berlalu bahwa ibnu ‘adiy telah
meneliti apa yang ragukan dari hadits Nu’aim bin Hammad, dan inilah rincian
pandapat tentang beliau”
Berkata Imam Ibnu hajar didalam
kitabnya “at Taqrib” :”dan ibnu adiy telah meneliti hadits-hadits yang Nu’aim
bin Hammad tersalah didalamnya, lalu beliau (ibnu adiy) berkata :”hadits yang
lainnya ‘mustaqim’”.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar