22 Oktober 2014

Inilah Syarat Tauhidmu !

Berbicara tentang La Ilaha Illallah adalah berbicara tentang sesuatu yang agung, karena kalimat tersebut adalah kalimat yang menjadi sebab diciptakannya alam semesta. Pada pembahasan sebelumnya kita telah menjelaskan tentang makna tauhid. Namun –para pembaca sekalian- makna itu tidak akan bermakna jika Allah tidak menerimanya, tidak meridhainya, dan tidak mencintainya. Oleh karena itu seorang muslim hendaklah mengetahui syarat-syarat kalimat yang agung ini. Karena sesuatu yang tak memenuhi syarat tentunya tidak akan diterima dan akan menjadi sesuatu yang sia-sia. Berikut kami sebutkan syarat-syarat Ilaha Illallah sebagaimana termaktub dalam al Qur’an dan Hadits-hadits.


Syarat Pertama  
Mengetahui atau mengilmui makna -  لا إله إلا الله – baik makna penafian (peniadaan) atau makna itsbat (penetapan).
Perlu anda ketahui _semoga Allah merahmati anda_ bahwa dalam kaliamat La Ilaha Illah ada kalimat peniadaan, artinya kita meniadakan dari diri kita penyembahan kepada selain Allah. Ini ditunjukkan dengan kalimat La Ilaha (لا إله) “tiada sesembahan yang berhak disembah..”
Kemudian selanjutnya makna penetapan (Itsbat) yaitu kalimat yang mengharuskan kita menetapkan penyembahan dan ibadah hanya untuk Allah –subhanahu wata’ala-. Dan ini ditunjukkan oleh kalimat Illallah (إلا الله). Dalam al Qur’an Allah berfirman :
 فَاعْلَمْ أَنَّهُ لا إِلَهَ إِلا اللَّهُ.....
Ketahuilah, bahwa sesungguhnya tidak ada yang berhak diibadahi melainkan Alloh…
(QS. Muhammad : 19)



Kalimat ‘ketahuilah’ menunjukkan perintah untuk mengetahui, sehingga ini mengharuskan kita untuk mengilmui kalimat ini dengan cara mempelajarinya.

Dari sahabat Utsman bin Affan –radhiyallalhu ‘anhu- berkata :
 مَنْ مَـاتَ وَهُوَ يَعْلَمُ أَنَّـهُ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ دَخَلَ الْجَنَّــةَ
“Barangsiapa yang mati dalam keadaan ia mengetahui bahwa tidak ada yang berhak diibadahi kecuali Allah, maka dia akan masuk surga” ( HR. Muslim nomor 26)

Syarat Kedua
Yakin yang akan menghilangkan keraguan
Yaitu orang yang mengucapakkan kalimat لا إله إلا اللهharus dalam keadaan menyakini apa yang ditunjukkan oleh kalimat لا إله إلا اللهdengan keyakinan yang pasti, karena keimanan tidak akan bermanfaat kecuali dengan ilmu yakin, bukan dengan persangkaan, lebih-lebih jika dimasuki oleh keragu-raguan. Keragu-raguan mendatangkan ketidakpastian. Sedangkan ilmu adalah kepastian, sehingga ilmu mendatangkan keyakinan.

Alloh –subhanahu wata’ala-  berfirman :
إِنَّمَا الْمُؤْمِنُونَ الَّذِينَ آمَنُوا بِاللَّهِ وَرَسُولِهِ ثُمَّ لَمْ يَرْتَابُوا وَجَاهَدُوا بِأَمْوَالِهِمْ وَأَنْفُسِهِمْ فِي سَبِيلِ اللَّهِ أُولَئِكَ هُمُ الصَّادِقُونَ
Sesungguhnya orang-orang yang beriman hanyalah orang-orang yang beriman kepada Allah dan Rasul-Nya kemudian mereka tidak ragu-ragu dan mereka berjihad dengan harta dan jiwa mereka pada jalan Alloh, mereka itulah jujur (keimanannya)(QS. Al Hujurot : 15)

Dalam ayat ini Alloh –subhanahu wata’ala-  mensyaratkan kejujuran dalam keimanan mereka kepada Alloh dan RosulNya yaitu dengan cara tidak ragu, adapun orang yang ragu (dalam keimanannya) mereka termasuk orang-orang munafiq –kita berlindung kepada Alloh dari kemunafikan- dimana Alloh –subhanahu wata’ala-   berfirman tentang orang-orang munafiq :
إِنَّمَا يَسْتَأْذِنُكَ الَّذِينَ لا يُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ وَارْتَابَتْ قُلُوبُهُمْ فَهُمْ فِي رَيْبِهِمْ يَتَرَدَّدُونَ
Sesungguhnya yang akan meminta izin (tidak ikut berjihad) kepadamu , hanyalah orang-orang yang tidak beriman kepada Alloh dan hari kemudian, dan hati mereka ragu-ragu, karena itu mereka selalu bimbang dalam keragu-raguannya(QS. At Taubah : 45)

Keraguan mereka menunjukkan ketidak berimanan mereka. Ini tanda bahwa keimanan disyaratkan adanya keyakinan yang menghilangkan keraguan.

Dari Abu  hurairoh –radhiyallalhu ‘anhu- ia berkata : rosululloh –shallallahu ‘alaihi wasallam- bersabda :
مَنْ لَقِيْتَ مِنْ وَرِاءِ هَذَا الْحَائِطِ يَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلا اللَّهُ مُسْتَيْقِنًا بِهَا قَلْبُهُ فَبَشِّرْهُ بِالْجَنَّــةَ
“Barangsiapa yang engkau temui dari balik dinding ini yang bersaksi bahwa tidak ada yang berhak diibadahi kecuali Allah dalam keadaan hatinya yakin, maka berilah kabar gembira dengan surga” (HR. Muslim nomor 31)

Maka syarat masuk surga bagi yang mengucapkan - لا إله إلا الله - yaitu dalam keadaan hatinya menyakini kalimat tersebut tanpa ada keragu-raguan dalam mengucapkannya. Kalau syarat tidak ada, maka yang disyaratkan juga akan hilang.

Syarat Ketiga
Menerima konsekwensi kalimat - لا إله إلا الله - dengan hati dan lisannya yang akan menghilangkan sifat menolak.
Orang yang mengucapkan kalimat tauhid La Ilaha Illallah wajib menerima konsekwensi dari kalimat tersebut. Tidak diperbolehkan adanya penolakan sedikitpun terhadap konsekwensi yang ditimbulkan oleh kalimat tauhid tadi.

Allah –subhanahu wata’ala-  berfirman :

إِنَّهُمْ كَانُوا إِذَا قِيلَ لَهُمْ لا إِلَهَ إِلا اللَّهُ يَسْتَكْبِرُونَ(35) وَيَقُولُونَ أَئِنَّا لَتَارِكُو آلِهَتِنَا لِشَاعِرٍ مَجْنُونٍ(36)
Sesungguhnya mereka dahulu apabila dikatakan kepada mereka: "Laa ilaaha illallah" mereka menyombongkan diri. Dan mereka berkata: "Apakah kami harus meninggalkan sembahan-sembahan kami untuk mengikuti seorang penyair gila?" (QS. Ash Shoffat : 35-36)

Orang-orang musyrik menyombongkan diri terhadapa kalimat "Laa ilaaha illallah" dengan enggannya mereka mengucapkannya. Bahkan mereka menyombokan dan membanggakan sesembahan mereka.

Dari Abu Musa al Asy’ari –radhiyallalhu ‘anhu-  ia berkata : rosulullah –shallallahu ‘alaihi wasallam-  bersabda  :
(..فَذَلِكَ مِثْلُ مَنْ فَقِهَ فِيْ دِيْنِ اللهِ وَ نَفَعَهُ مَا بَعَثَـنِيَ اللهُ بِهِ مِنَ الْهُدَى وَ الْعِلْمِ, فَعَلِمَ وَ عَلَّمَ, وَ مِثْلُ مَنْ لَمْ يَرْفَعْ بِذَلِكَ رَأْسًا وَ لَمْ يَقْبَلْ هُدَى اللهِ الَّذِيْ أُرْسِلْتُ بِهِ)
“ ….Hal tersebut seperti permisalan orang yang memahami urusan agama Allah dan memberikan manfaat kepadanya apa yang Allah mengutusku dengannya berupa petunjuk dan ilmu maka ia berilmu dan mengajarkan ilmunya dan permisalan orang yang tidak mau mengangkat kepala dan tidak mau menerima petunjuk Allah yang aku diutus dengan petunjuk tersebut” (HR. Bukhori /79 dan Muslim /2282)

Syarat Keempat
Tunduk dan pasrah kepada apa yang ditunjukkan oleh kalimat - لا إله إلا الله -yang akan menghilangkan sifat meninggalkan.

Alloh –subhanahu wata’ala-   berfirman :
وَمَنْ يُسْلِمْ وَجْهَهُ إِلَى اللَّهِ وَهُوَ مُحْسِنٌ فَقَدِ اسْتَمْسَكَ بِالْعُرْوَةِ الْوُثْقَى
Dan barang siapa yang menyerahkan dirinya kepada Allah, sedang dia orang yang berbuat kebaikan, maka sesungguhnya ia telah berpegang kepada tali yang kokoh” (QS. Luqman : 22)

Dan makna menyerahkan dirinya kepada Allah adalah tunduk (kapadaNya). Dan makna orang yang berbuat kebaikan adalah orang yang mentauhidkan Allah. Dan makna tali yang kokoh adalah kalimat - لا إله إلا الله -. Allah –subhanahu wata’ala-    berfirman :
 وَأَنِيبُوا إِلَى رَبِّكُمْ وَأَسْلِمُوا لَهُ مِنْ قَبْلِ أَنْ يَأْتِيَكُمُ الْعَذَابُ ثُمَّ لا تُنْصَرُونَ
Dan kembalilah kamu kepada Robbmu, dan berserah dirilah kepada-Nya sebelum datang azab kepadamu kemudian kamu tidak dapat ditolong (lagi)(QS. azZumar : 54)

Maksudnya “kembalilah kalian kepada Robb kalian dan pasrahkanlah diri kalian kepadaNya

Dari Abdulloh bin Amr –radhiyallalhu ‘anhu- meriwayatkan secara marfu :
لَا يُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ حَتَّى يَكُوْنَ هَوَاهُ تَبِعًا لِمَا جِئْتُ بِهِ
“Tidak beriman salah seorang kalian hingga hawa nafsunya mengikuti apa yang aku (rasulullah) bawa”

Berkata Imam Nawawiy di dalam kitab “al Arba’in” pada nomor hadits 41 : ”Hadits Hasan Shohih yang kami riwayatkan di dalam kitab “al Hujjah” dengan sanad yang shohih”.
Hadits ini juga dishohihkan oleh asy syaikh alhafidz alHakami di dalam kitabnya Ma’arijul Qobul 2/422. Dan sungguh Ibnu Katsir juga berhujjah dengan hadits ini dalam menafsirkan ayat :
وَمَا كَانَ لِمُؤْمِنٍ وَلا مُؤْمِنَةٍ إِذَا قَضَى اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَمْرًا أَنْ يَكُونَ لَهُمُ الْخِيَرَةُ مِنْ أَمْرِهِمْ
Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mukmin dan tidak (pula) bagi perempuan yang mukmin, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka..”(QS. Al Ahzab : 36)

Begitu pula syaikh Muhammad bi Abdul wahhab attamimiy –Semoga Allah –subhanahu wata’ala- merahmati beliau-. Lihat kitab “al Waajibat al Mutahattimat li Ma’rifatil umuur al Muhimmat” hal : 8.

Dalam sanad hadits tersebut ada yang bernama ‘Nu’aim bin Hammad al Khozaa’i dimana sebagian ahlul hadits melemahkannya dan sebagian lain menguatkannya. Hadits ini adalah hadits yang hasan jika ia tidak termasuk yang diingkari oleh ulama ahli hadits dari riwayat Nu’aim bin Hammad al Khozaa’i. Sungguh Ibnu ‘adiy telah menyebutkan didalam kitabnya “al Kamil” apa yang beliau ingkari dari hadits Nu’aim bin Hammad dan beliau tidak menyebutkan hadits ini, dan beliau berkata di akhir kitabnya :”saya berharap hadits-haditsnya yang lain ‘mustaqim’ (terhindar dari kelemahan-pent-) 7/2485.
Berkata Imam Ibnu hajar didalam kitabnya “at Tahdzib” 10/463 “sungguh telah berlalu bahwa ibnu ‘adiy telah meneliti apa yang ragukan dari hadits Nu’aim bin Hammad, dan inilah rincian pandapat tentang beliau”
Berkata Imam Ibnu hajar didalam kitabnya “at Taqrib” :”dan ibnu adiy telah meneliti hadits-hadits yang Nu’aim bin Hammad tersalah didalamnya, lalu beliau (ibnu adiy) berkata :”hadits yang lainnya ‘mustaqim’”.


Maka ibnu adiy menetapkan (menerima-pent-) hadits ini.

(Berlanjut ke tulisan ke 2)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar