Sudah semestinya seorang muslim mengetahui perkara-perkara agamanya. Terkhusus yang berkaitan dengan urusan Aqidah Tauhid. Persoalan aqidah adalah persoalan dasar dalam beragama. Baik buruknya agama kita tergantung dari baik buruknya aqidah (keyakinan) kita. Jadi aqidah ibarat pondasi sebuah bangunan dan akar sebuah pohon. Allah –subhanahu wata’ala- berfirman :
أَلَمْ تَرَ كَيْفَ ضَرَبَ اللَّهُ مَثَلًا كَلِمَةً طَيِّبَةً كَشَجَرَةٍ طَيِّبَةٍ أَصْلُهَا ثَابِتٌ وَفَرْعُهَا فِي السَّمَاءِ
“Allah
telah membuat perumpamaan kalimat yang baik seperti pohon yang baik, akarnya kokoh (menancap ke bumi) dan cabangnya
(menjulang) ke langit” (QS. Ibrahim : 24)
Perhatikan wahai para pembaca –semoga Allah merahmati kalian- dalam ayat
ini Allah mempermisalkan kalimat yang baik seperti pohon yang baik. Pohon yang
baik ditandai dengan kekuatan akarnya, sehingga mampu menopang cabangnya yang
tinggi menjulang. Demikian pula kalimat yang baik. Para ulama menafsirkan
“kalimat yang baik” adalah kalimat La Ilaha Illallah. Kalimat ini adalah
penopang dari setiap amalan yang dilakukan oleh seorang muslim. Kokohnya La Ilaha Illallah ( لا إله إلا الله ) adalah tanda kokohnya setiap amalan.
Namun dalam kenyataannya tidak setiap muslim memahami makna kalimat La
Ilaha Illallah ( لا إله إلا الله
), padahal dalam al Qur’an Allah berfirman :
فَاعْلَمْ أَنَّهُ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَاسْتَغْفِرْ لِذَنْبِكَ
“Maka
ketahuilah, bahwa sesungguhnya tidak ada sesembahan (Yang berhak diibadahi) melainkan Allah dan mohonlah ampunan bagi dosamu” (QS. Muhammad : 19)
Ayat ini memerintahkan kita untuk mengetahui. Mengetahui berarti
mempelajari, karena tidaklah mungkin seseorang mengetahui sebuah perkara
kecuali dengan mempelajarinya. Rasulullah bersabda :
إِنَّمَا الْعِلْمُ بِالتَّعَلُّمِ
“Sesungguhnya Ilmu itu didapatkan dengan belajar “(HR.
Bukhari)
Oleh karena itu ayat ini memerintahkan kita untuk mempelajari semua yang
berkaitan dengan La Ilaha Illallah ( لا إله إلا الله
). Diantaranya tentang makna kalimat ini.
Para pembaca sekalian –semoga Allah memberkahi kalian semua- ketahuilah
bahwa kalimat La Ilaha Illallah ( لا إله إلا الله
) bermakna “Tidak ada yang berhak
diibadahi kecuali Allah, dan sesuatu selain Allah jika diibadahi, maka ibadah
tersebut adalah ibadah yang batil atau salah”.
Inilah makna yang benar terhadap kalimat La Ilaha Illallah ( لا إله إلا الله ). Allah –subhanahu wata’ala- berfirman :
ذَلِكَ بِأَنَّ اللَّهَ هُوَ الْحَقُّ وَأَنَّ مَا يَدْعُونَ مِنْ دُونِهِ هُوَ الْبَاطِلُ وَأَنَّ اللَّهَ هُوَ الْعَلِيُّ الْكَبِيرُ
“Demikian itu, karena sesungguhnya Allah, Dialah (Sesembahan) Yang Hak dan sesungguhnya apa saja yang mereka sembah selain Allah, maka itu adalah sesembahan yang batil, dan
sesungguhnya Allah, Dialah Yang Maha Tinggi lagi Maha Besar” (QS. Al Hajj : 62)
Dalam ayat ini Allah menyebutkan bahwa ada sesembahan
selain Allah yang diibadahi oleh manusia, namun semua sesembahan tersebut
adalah sesembahan yang salah dan batil. Sesembahan yang sebenarnya adalah Allah
–subhanahu wata’ala-. Allah tidak mengingkari keberadaan sesembahan yang lain
selain Dia, cuma yang Allah ingkari adalah kesalahan orang yang beribadah
kepada selain Allah, karena sesembahan-sesembahan selain Dia adalah sesembahan
yang batil dan tidak berhak untuk diibadahi. Orang yang memahami makna La Ilaha Illallah ( لا إله إلا الله ), maka ia akan meninggalkan ibadah kepada
selain Allah dan memperuntukkan ibadahnya hanya kepada Allah.
Makna salah tentang La Ilaha Illallah ( لا إله إلا الله )
Dari uraian diatas, maka kita bisa memahami kesalahan
sebagian kaum Muslimin dalam memahami makna La Ilaha Illallah ( لا إله إلا الله ). Diantara pendapat mereka adalah :
1. Tidak ada Tuhan selain Allah
Ini adalah makna yang keliru terhadap kalimat La Ilaha Illallah ( لا إله إلا الله ), karena makna ‘tidak ada Tuhan selain
Allah” memberi gambaran bahwa tidak ada sesembahan lain kecuali Allah. Ini bertentangan
dengan dalil dan kenyataan. Allah –subhanahu wata’ala- berfirman :
ذَلِكَ بِأَنَّ اللَّهَ هُوَ الْحَقُّ وَأَنَّ مَا يَدْعُونَ مِنْ دُونِهِ هُوَ الْبَاطِلُ وَأَنَّ اللَّهَ هُوَ الْعَلِيُّ الْكَبِيرُ
“Demikian itu, karena sesungguhnya Allah, Dialah (Sesembahan) Yang Hak dan sesungguhnya apa saja yang mereka sembah selain Allah, maka itu adalah sesembahan yang batil, dan
sesungguhnya Allah, Dialah Yang Maha Tinggi lagi Maha Besar” (QS. Al Hajj : 62)
Kalimat “sesungguhnya
apa saja yang mereka sembah selain Allah” menunjukkan bahwa ada
tuhan-tuhan lain atau boleh dikatakan sesembahan-sesembahan lain selain Allah. Ada
berhala, patung, jin, batu, sungai, dan lain-lain yang dipertuhankan dan
disembah oleh sebagian manusia. Itu ada dan nyata, namun sesembahan-sesembahan
tersebut adalah sesembahan yang batil. Sehingga tidak layak untuk diberikan hak
peribadahan.
2. Tidak ada pencipta selain Allah
Makna ini juga keliru, karena kalimat “pencipta” tidak
terkandung pada kalimat ilah (إله) sebagaimana
yang termaktub dalam kalimat tauhid La Ilaha Illallah ( لا إله إلا الله ). Kalimat tidak ada pencipta selain Allah lebih tepat
dibahasakan dengan La rabba Illallah (لا رب إلا الله). Demikian pula apa
yang di utarakan sebagian orang bahwa maknanya adalah “tidak ada pemberi rizki,
yang mematikan dan menghidupkan, pengatur alam semesta selain Allah”. Karena itu
semua adalah kandungan dari kalimat La rabba Illallah (لا رب إلا الله).
Disisi lain bahwa makna tersebut tidak menunjukkan tauhid yang
terkandung dalam La Ilaha Illallah ( لا إله إلا الله ) yang didakwahkan para Rasul. Seandainya maknanya
demikian maka orang-orang musyrik di zaman nabi yang beliau perangi akan
menjadi orang yang mentauhidkan Allah dan bukan orang musyrik lagi. Karena mereka
mengatakan tidak ada pencipta selain Allah.
قُلْ مَنْ رَبُّ السَّمَاوَاتِ السَّبْعِ وَرَبُّ الْعَرْشِ الْعَظِيمِ سَيَقُولُونَ اللَّهِ
“Katakan (kepada orang musyrik) siapakah pencipta langit yang tujuh
dan arsy yang agung, maka mereka akan mengatakan Allah”(QS. Al Mu’minun
: 86)
Inilah pengakuan orang musyrik, namun tidak menjadikan mereka sebagai
seorang muslim dan tetap diperangi oleh Rasulullah –shallalhu ‘alaihi wasallam-.
Barangsiapa yang memahami hal tersebut, maka hendaklah ia menjelaskan
kepada manusia jika ia mendapati mereka salah didalam memahami kalimat tauhid La
Ilaha Illallah ( لا إله إلا الله ) denga cara yang lembut, bijaksana, arif, dan tentunya dengan dalil yang
jelas.
(Tulisan Abu Ubaidillah al Atsariy -Hafidzahullah)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar