15 Oktober 2014

Mengapa Menangis ?

Diriwayatkan dari Abdurrahman bin Yazid bin Jabir –rahimahullah- , dia berkata, aku bertanya kepada Yazid bin Marsyad –rahimahullah-: ”Mengapa aku tak pernah melihat matamu berhenti menangis ?”
Namun Yazid balik bertanya :”Apa urusanmu bertanya tentang hal itu ?”.
Aku (Abdurrahman bin Yazid ) menjawab :”Semoga Allah memberi manfaat dengan jawabanmu itu”. Maka Yazid bin Marsyad berkata :”Wahai saudaraku, sesungguhnya Allah mengancam aku bahwa Dia akan memasukkan aku ke dalam neraka, jika aku bermaksiat kepada-Nya, jikalau Allah hanya mengancamku untuk dimasukkan ke dalam kamar mandi, maka sungguh itu sudah cukup untuk membuatku terus menangis hingga air mataku kering”.
Kemudian Abdurrahman bin Yazid berkata :”Apakah keadaanmu juga demikian ketika engkau bersendirian ?”

Yazid balik bertanya :”Apa urusanmu bertanya tentang hal itu ?”. Abdurrahman bin Yazid  menjawab :”Semoga Allah memberi manfaat dengan jawabanmu itu”. Maka Yazid bin Marsyad berkata :”Demi Allah acap kali menimpaku, ketika aku bersama dengan keluargaku (untuk bersenang-senang –pent-) namun tiba-tiba aku urungkan niatku. Kadang juga dihidangkan makanan di hadapanku lalu aku menginginkannya, namun tiba-tiba aku urungkan lalu menangis, hingga istriku ikut menangis, dan menangis pulalah anak-anakku tanpa mereka ketahui apa yang membuat kami menangis.
Kadang ada orang yang iba terhadap istriku, dia mengatakan, Kasian nian istinya tidak memiliki waktu untuk bersenang-senang bersamanya karena aku senantiasa menangis yang berkepanjangan di kehidupan ini tanpa ada waktu sejenakpun untuk bercengkrama sekejap pun.
(Sumber : az Zuhd war Raqa’iq oleh Ibnul Mubarak : 166)

Hikmah Kisah
1. Keutamaan menangis karena Allah. Rasulullah -shallallâhu ‘alaihi wa sallam- bersabda :
لَا يَلِجُ النَّارَ رَجُلٌ بَكَى مِنْ خَشْيَةِ اللهِ حَتَّى يَعُوْدُ الْلَبَنُ فِيْ الضَّرْعِ
Tidak akan masuk ke dalam neraka orang yang menangis karena merasa takut kepada Allah sampai susu [yang telah diperah] bisa kembali masuk ke tempat keluarnya.” (HR. Tirmidzi nomor 1633 dan dishahihkan oleh al Albaniy dalam al Misykah/3828)

2. Kebiasaan para pendahulu ummat ini untuk saling mengambil nasehat antara satu dengan yang lainnya. Rasulullah -shallallâhu ‘alaihi wa sallam- bersabda :
اَلدِّيْنُ النَّصِيْحَة. قُـلْنَا : لِمَنْ يَا رَسُولَ اللهِ ؟ قَالَ: لِـلَّهِ, وَ لِكِتَابِهِ, وَ لِرَسُولِهِ, وَ لِأَئِمَّةِ الْمُسْلِمِيْنَ, وَ عَامَّتِهِمْ
“Agama adalah nasihat”. Kami bertanya: “Untuk siapa ya Rasulullah?” Rasulullah menjawab: “Untuk Allah, kitab-Nya, Rasul-Nya, untuk para pemimpin kaum muslim dan bagi kaum muslim seluruhnya” (HR. Muslim)

3. Dianjurkan bertanya atas alasan seseorang melakukan suatu perbuatan agar tidak terjadi prasangka buruk kepada saudaranya. Allah Ta’ala berfirman.

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اجْتَنِبُوا كَثِيرًا مِّنَ الظَّنِّ إِنَّ بَعْضَ الظَّنِّ إِثْمٌ ۖ وَلَا تَجَسَّسُوا
Hai orang-orang yang beriman jauhilah banyak prasanka, karena sebagian prasangka adalah dosa, dan jangalah kalian mencari-cari kesalahan orang lain” (QS. Al Hujarat : 12)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar