Wallahu a’lam saya tidak tahu’ itulah sepenggal kalimat yang sangat sulit diucapkan oleh sebagian kaum muslimin terutama seorang tokoh agama atau tokoh masyarakat ketika mereka ditanya tentang masalah agama yang mereka tidak ketahui hukumnya. Fenomena ini sudah menjadi penyakit kronis yang menjangkiti sebagian tokoh-tokoh agama. Maka pada edisi kali ini akan kami bawakan dalil dan ucapan para shahabat dan ulama’ yang membimbing kita untuk belajar mengatakan “saya tidak tahu” terhadap hal-hal yang memang tidak kita ketahui, apalagi pada perkara-perkara yang ghaib yang tidak ada perincian dan penjelasannya dari Al-Qur’an dan As-Sunnah.
Allah -subhanahu wata'ala- berfirman :
وَلَا تَقْفُ مَا لَيْسَ لَكَ
بِهِ عِلْمٌ إِنَّ السَّمْعَ وَالْبَصَرَ وَالْفُؤَادَ كُلُّ أُولَئِكَ كَانَ
عَنْهُ مَسْئُولًا
“Dan
janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya.
Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya akan dimintai
pertanggung-jawabannya” (Al-Isra:36)
Dalam
ayat tersebut Allah I mengajarkan pada kita agar kita tidak berbicara
tentang sesuatu kecuali dengan ilmu. Apalagi jika masalah itu berkaitan dengan
Dzat Allah, perbuatan Allah, nama-nama dan sifat-sifatNya, ataupun
perkara-perkara yang belum terjadi seperti tanda-tanda hari kiamat, hari
kebangkitan, hisab, surga dan neraka, ataupun yang selainnya.
Dalam
masalah-masalah tersebut, kita tidak mungkin bisa mengetahuinya dengan keterbatasan
panca indera atau akal kita. Kita hanya mengetahui sebatas apa yang diberitakan
dalam Al-Qur’an dan Al-Hadits yang shahih sesuai dengan apa yang dipahami oleh
para shahabat nabi -shallallahu 'alaihi wasallam-.
Muadz
Bin Jabbal -radiyallahu 'anhu- ketika ditanya oleh Rasulullah -shallallahu 'alaihi wasallam-
tentang sesuatu yang tidak diketahui, maka beliau menjawab Allahu wa Rasuluhu
a’lam. Disebutkan dalam satu hadits yang diriwayatkan oleh Mu’adz Bin Jabal -radhiyallahu 'anhu-.
Ketika Rasulullah -shallallahu 'alaihi wasallam- berkata pada Muadz: “Ya Muadz tahukah engkau apa
hak Allah atas hambaNya? Muadz menjawab: Allah dan RasulNya lebih tahu”.
Rasulullah r bersabda (yang artinya), “Hak Allah atas hambaNya
adalah agar mereka beribadah kepadaNya dan tidak mempersekutukanNya dengan
sesuatu apapun”. Kemudian Rasulullah berkata lagi, “Tahukah engkau apa hak mereka jika
telah menunaikannya? Muadz menjawab: Allah dan RasulNya lebih mengatahui” (Hadits
riwayat Bukhari dan Muslim).
Ini
menunjukkan adab seorang shahabat nabi ketika ditanya tentang sesuatu yang
tidak dia ketahui, mereka mengatakan “Allah dan Rasul-Nya lebih tahu”.
Rasulullah
r sendiri pun diajarkan oleh Allah I
untuk menjawab “Allahu a’lam” ketika ditanya tentang ruh, karena itu urusan
Allah. Allah berfirman (yang artinya), “Dan mereka bertanya kepadamu tentang
urusan ruh. Katakanlah: Ruh itu termasuk urusan Rabbku, dan tidaklah kalian
diberi pengetahuan melainkan sedikit.” (Al-Isra:85).
Maka
Rasulullah -shallallahu 'alaihi wasallam- tidak malu untuk mengatakan “tidak tahu” pada
perkara-perkara yang memang Allah tidak turunkan ilmu kepadanya. Atau beliau
menunda jawabannya hingga turun jawaban dari Allah I.
Hikmah
dari jawaban-jawaban beliau -shallallahu 'alaihi wasallam- ini adalah: kaum Yahudi dan Musyrikin mengetahui
betul bahwa Rasulullah -shallallahu 'alaihi wasallam- tidak mengucapkan dari hawa nafsunya, melainkan dari
wahyu yang diturunkan Allah kepadanya. Jika ada keterangan wahyu dari Allah I beliau
jawab, dan jika tidak maka Rasulullah -shallallahu 'alaihi wasallam- menundanya.
Imam
Asy-Sya’bi pernah ditanya dalam suatu
masalah. Beliau menjawab, “Saya tidak tahu”. Maka si penanya heran dan berkata,
“Apakah kamu tidak malu mengatakan “tidak tahu”, padahal engkau adalah ahli
fiqh negeri Iraq?” Beliau menjawab, “Tidak karena para malaikat sekalipun tidak malu mengatakan
tidak tahu, ketika Allah I tanya: “Sebutkan kepadaKu nama benda-benda itu
jika kamu memang benar!”(Al-Baqoroh:31). Maka para malaikat menjawab
: “Mereka menjawab: Mahasuci Engkau, tidak ada ilmu bagi kami selain dari
apa yang telah engkau ajarkan kepada kami; sesungguhnya Engkaulah Yang Maha
Mengetahui lagi Maha Bijaksana” (Al-Baqoroh:32) (Lihat ucapan Imam
Asy-Sya’bi dalam Jami’ Bayanil ‘Ilmi wa Fadhili (2/51).
Sesunnguhnya
hikmah dari dakwah adalah menyampaikan apa yang Allah turunkan dan apa yang
Rasulullah -shallallahu 'alaihi wasallam- jelaskan. Bukan buatan sendiri, berpikir sendiri,
atau memberat-beratkan diri dengan sesuatu yang tidak ada ilmu padanya. Allah
berfirman (yang artinya),“Katakanlah (hai Muhammad): Aku tidak meminta upah
sedikitpun kepada kalian atas dakwahku, dan bukanlah aku termasuk orang-orang
yang mengada-adakan (memaksakan diri). Al-Qur’an ini tidak lain hanyalah
peringatan bagi semesta alam. Dan sesungguhnya kalian akan mengetahui
(kebenaran) berita Al-Qur’an setelah beberapa waktu lagi.” (Shaad:86-88)
Karena
ayat inilah Ibnu Mas’ud -radiyallahu 'anhu-marah ketika ada seseorang yang berbicara tanda-tanda
hari kiamat dengan tanpa ilmu. Beliau -radiyallahu 'anhu- berkata, “Barangsiapa yang memiliki ilmu maka
katakanlah! Dan barangsiapa yang tidak memiliki ilmu maka katakanlah “Allahul
A’lam!” Karena sesungguhnya Allah telah mengatakan pada nabiNya: Katakanlah
(hai Muhammad): Aku tidak meminta upah sedikitpun kepada kalian atas dakwahku,
dan bukanlah aku termasuk orang-orang yang mengada-adakan (memaksakan diri).“ (Atsar riwayat Ad-Darimi juz 1/62; Ibnu
Abdil Barr dalam Jami’ Bayaanil Ilmi juz 2/51; Baihaqi dalam Al-Madkhal no 797;
Al Khatib Al Baghdadi dalam Al Faqiih wal Mutafaqih; melalui nukilan Hilyatul
Alimi Al-Mu’allim, hal 59)
Demikian
pula Abu Bakar Shidiq t ketika ditanya tentang tafsir suatu ayat yang tidak
beliau ketahui, beliau menjawab, ” Bumi mana yang akan aku pijak, langit mana
yang akan menaungiku, mau lari kemana aku atau apa yang akan aku perbuat kalau
aku mengatakan tentang ayat Allah tidak sesuai dengan apa yang Allah kehendaki”
(Atsar riwayat Ibnu Abdil Barr dalam Jami’ Bayanil ‘Ilmi, juz 2/52; Baihaqi
dalam Al-Madkhal no 792; lihat Hilyatul ‘Alimi Al-Mu’allim, hal 60).
Pernah
Ali bin Abi Thalib t ditanya tentang satu masalah, kemudian beliau
menjawab, “Aku tidak mempunyai ilmu tentangnya” (padahal saat itu beliau
sebagai khalifah -red). Beliau berkata setelah itu, “Duhai dinginnya hatiku”
(3X). Maka para penanya berkata kepadanya, “Wahai Amirul Mukminin apa
maksudmu?”. Ali Bin Abi Thalib menjawab, “Yakni dinginnya hati seseorang ketika
ditanya tentang sesuatu yang tidak ia ketahui”. Kemudian ia menjawab, “Wallahu
A’lam”.(Riwayat Ad-Darimi 1/62-63; Al Khatib dalam Al-Faqih wal Mutafaqih,
juz 2 hal 71; Baihaqi dalam Al-Madkhal no 794 dari jalan yang banyak. Lihat
Hilyatul ‘Alimi Al-Mu’alim hal 60).
Kejadian
yang sama juga terjadi pada Ibnu Umar -radiyallahu 'anhu- ketika beliau ditanya, “Apakah bibi mendapat
warisan?”. Beliau menjawab saya tidak tahu. Kemudian si penanya berkata,
“Engkau tidak tahu dan kamipun tidak tahu, lantas…?”. Maka Ibnu Umar t
berkata, “Pergilah kepada para Ulama di Madinah, dan tanyalah kepada mereka”.
Maka ketika dia (si penanya -red) berpaling, dia berkata, “Sungguh mengagumkan
Abu Abdirrahman (Yakni Ibnu Umar t) ditanya sesuatu yang beliau tidak tahu, beliau
katakan: Saya tidak tahu”. (Riwayat Ad-Darimi 1/63; Ibnu Abdi Abdi Barr
dalam Jami’ Bayanil ‘Ilmi; Al-Khatib dalam Al-Faqih wal Mutafaqih juz 2 hal
171-172; Al-Baihaqi dalam Al-Madkhal, 769. Lihat Hilyatul ‘Alimi Al-Mu’allim ha
61).
Datang
seseorang kepada Imam Malik Bin Anas Rahimahullah, bertanya tentang satu
masalah hingga beberapa hari beliau belum menjawab dan selalu mengatakan “saya
tidak tahu”. Sampai kemudian orang itu datang dan berkata, “Wahai Abu
‘Abdillah, aku akan keluar kota dan aku sudah sering pulang pergi ke tempatmu
(yakni meminta jawaban)”. Maka Imam Malik menundukkan kepalanya beberapa saat,
kemudian mengangkat kepalanya dan berkata, “Masya Allah Hadza, aku berbicara adalah
untuk mengharapkan pahala. Namun, aku betul-betul tidak mengetahui apa yang
kamu tanyakan.” (Riwayat Abu Nu’aim dalam Al-Hilya, 6/323; Ibnu Abdil Barr
dalam Jami’ Bayanil Ilmi 2/53; Baihaqi dalam Al-Madkhal no 816; Al-Khatib dalam
Al-Faqih wal Mutafaqih 2/174; lihat Hilyatul ‘Alimi al Mu’allim, ha 63).
Dari
beberapa ucapan di atas, kita diperintahkan untuk menyampaikan apa yang kita
ketahui dari Al-Qur’an dan As-Sunnah, dan dilarang untuk berbicara pada sesuatu
yang tidak kita ketahui. Sebagai penutup kita dengarkan nasehat seorang Ulama’
sebagai berikut:
“Belajarlah
engkau untuk mengucapkan ‘Saya tidak tahu’. Dan janganlah belajar mengatakan
’saya tahu’ (pada apa yang kamu tidak tahu -red), karena sesungguhnya jika
engkau mengucapkan ’saya tidak tahu’ mereka akan mengajarimu sampai engkau
tahu”. Tetapi jika engkau mengatakan ‘tahu’, mereka akan menghujanimu dengan
pertanyaan hingga kamu tidak tahu”.(Jami’ Bayanil ‘Ilmi 2/55 melalui
nukilan Hilyatul ‘Alim Al-Mu’allim, Salim Bin Ied Al-Hilaly, hal 66)
Perhatikan
pula ucapan Imam Asy-Sya’bi Rahimahullah, “Kalimat ’saya tidak tahu’
adalah setengah ilmu”. (Riwayat Ad-Darimi 1/63; Al-Khatib
dalam Al-Faqih Wal Mutafaqih juz 2/173; Baihaqi dalam Al-Madkhal no 810. Lihat
Hilyatul ‘Ilmi Al-Mu’allim ham 65)
sumber : booklet assunah kolaka (sulawesi tenggara)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar