10 Juni 2013

Belajar Mengatakan "Saya tidak tahu"



Wallahu a’lam saya tidak tahu’  itulah  sepenggal kalimat yang sangat sulit diucapkan oleh sebagian kaum muslimin terutama seorang tokoh agama atau tokoh masyarakat ketika mereka ditanya tentang masalah agama yang mereka tidak ketahui hukumnya. Fenomena ini sudah menjadi penyakit kronis yang menjangkiti sebagian tokoh-tokoh agama. Maka pada edisi kali ini akan kami bawakan dalil dan ucapan para shahabat dan ulama’ yang membimbing kita untuk belajar mengatakan “saya tidak tahu” terhadap hal-hal yang memang tidak kita ketahui, apalagi pada perkara-perkara yang ghaib yang tidak ada perincian dan penjelasannya dari Al-Qur’an dan As-Sunnah.
Allah -subhanahu wata'ala- berfirman :

وَلَا تَقْفُ مَا لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ إِنَّ السَّمْعَ وَالْبَصَرَ وَالْفُؤَادَ كُلُّ أُولَئِكَ كَانَ عَنْهُ مَسْئُولًا
Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya akan dimintai pertanggung-jawabannya(Al-Isra:36)

Dalam ayat tersebut Allah I mengajarkan pada kita agar kita tidak berbicara tentang sesuatu kecuali dengan ilmu. Apalagi jika masalah itu berkaitan dengan Dzat Allah, perbuatan Allah, nama-nama dan sifat-sifatNya, ataupun perkara-perkara yang belum terjadi seperti tanda-tanda hari kiamat, hari kebangkitan, hisab, surga dan neraka, ataupun yang selainnya.



Dalam masalah-masalah tersebut, kita tidak mungkin bisa mengetahuinya dengan keterbatasan panca indera atau akal kita. Kita hanya mengetahui sebatas apa yang diberitakan dalam Al-Qur’an dan Al-Hadits yang shahih sesuai dengan apa yang dipahami oleh para shahabat nabi -shallallahu 'alaihi wasallam-.



Muadz Bin Jabbal -radiyallahu 'anhu- ketika ditanya oleh Rasulullah -shallallahu 'alaihi wasallam- tentang sesuatu yang tidak diketahui, maka beliau menjawab Allahu wa Rasuluhu a’lam. Disebutkan dalam satu hadits yang diriwayatkan oleh Mu’adz Bin Jabal -radhiyallahu 'anhu-. Ketika Rasulullah -shallallahu 'alaihi wasallam- berkata pada Muadz: “Ya Muadz tahukah engkau apa hak Allah atas hambaNya? Muadz menjawab: Allah dan RasulNya lebih tahu”. Rasulullah r bersabda (yang artinya), “Hak Allah atas hambaNya adalah agar mereka beribadah kepadaNya dan tidak mempersekutukanNya dengan sesuatu apapun”. Kemudian Rasulullah berkata lagi, “Tahukah engkau apa hak mereka jika telah menunaikannya? Muadz menjawab: Allah dan RasulNya lebih mengatahui” (Hadits riwayat Bukhari dan Muslim).
Ini menunjukkan adab seorang shahabat nabi ketika ditanya tentang sesuatu yang tidak dia ketahui, mereka mengatakan “Allah dan Rasul-Nya lebih tahu”.

Rasulullah r sendiri pun diajarkan oleh Allah I untuk menjawab “Allahu a’lam” ketika ditanya tentang ruh, karena itu urusan Allah. Allah berfirman (yang artinya), “Dan mereka bertanya kepadamu tentang urusan ruh. Katakanlah: Ruh itu termasuk urusan Rabbku, dan tidaklah kalian diberi pengetahuan melainkan sedikit.” (Al-Isra:85).

Maka Rasulullah -shallallahu 'alaihi wasallam- tidak malu untuk mengatakan “tidak tahu” pada perkara-perkara yang memang Allah tidak turunkan ilmu kepadanya. Atau beliau menunda jawabannya hingga turun jawaban dari Allah I.

Hikmah dari jawaban-jawaban beliau -shallallahu 'alaihi wasallam- ini adalah: kaum Yahudi dan Musyrikin mengetahui betul bahwa Rasulullah -shallallahu 'alaihi wasallam- tidak mengucapkan dari hawa nafsunya, melainkan dari wahyu yang diturunkan Allah kepadanya. Jika ada keterangan wahyu dari Allah I beliau jawab, dan jika tidak maka Rasulullah -shallallahu 'alaihi wasallam- menundanya.

Imam Asy-Sya’bi  pernah ditanya dalam suatu masalah. Beliau menjawab, “Saya tidak tahu”. Maka si penanya heran dan berkata, “Apakah kamu tidak malu mengatakan “tidak tahu”, padahal engkau adalah ahli fiqh negeri Iraq?” Beliau menjawab, “Tidak  karena para malaikat sekalipun tidak malu mengatakan tidak tahu, ketika Allah I tanya: “Sebutkan kepadaKu nama benda-benda itu jika kamu memang benar!(Al-Baqoroh:31). Maka para malaikat menjawab : “Mereka menjawab: Mahasuci Engkau, tidak ada ilmu bagi kami selain dari apa yang telah engkau ajarkan kepada kami; sesungguhnya Engkaulah Yang Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana” (Al-Baqoroh:32) (Lihat ucapan Imam Asy-Sya’bi dalam Jami’ Bayanil ‘Ilmi wa Fadhili (2/51).

Sesunnguhnya hikmah dari dakwah adalah menyampaikan apa yang Allah turunkan dan apa yang Rasulullah -shallallahu 'alaihi wasallam- jelaskan. Bukan buatan sendiri, berpikir sendiri, atau memberat-beratkan diri dengan sesuatu yang tidak ada ilmu padanya. Allah berfirman (yang artinya),“Katakanlah (hai Muhammad): Aku tidak meminta upah sedikitpun kepada kalian atas dakwahku, dan bukanlah aku termasuk orang-orang yang mengada-adakan (memaksakan diri). Al-Qur’an ini tidak lain hanyalah peringatan bagi semesta alam. Dan sesungguhnya kalian akan mengetahui (kebenaran) berita Al-Qur’an setelah beberapa waktu lagi.” (Shaad:86-88)

Karena ayat inilah Ibnu Mas’ud -radiyallahu 'anhu-marah ketika ada seseorang yang berbicara tanda-tanda hari kiamat dengan tanpa ilmu. Beliau -radiyallahu 'anhu- berkata, “Barangsiapa yang memiliki ilmu maka katakanlah! Dan barangsiapa yang tidak memiliki ilmu maka katakanlah “Allahul A’lam!” Karena sesungguhnya Allah telah mengatakan pada nabiNya: Katakanlah (hai Muhammad): Aku tidak meminta upah sedikitpun kepada kalian atas dakwahku, dan bukanlah aku termasuk orang-orang yang mengada-adakan (memaksakan diri).“  (Atsar riwayat Ad-Darimi juz 1/62; Ibnu Abdil Barr dalam Jami’ Bayaanil Ilmi juz 2/51; Baihaqi dalam Al-Madkhal no 797; Al Khatib Al Baghdadi dalam Al Faqiih wal Mutafaqih; melalui nukilan Hilyatul Alimi Al-Mu’allim, hal 59)

Demikian pula Abu Bakar Shidiq t ketika ditanya tentang tafsir suatu ayat yang tidak beliau ketahui, beliau menjawab, ” Bumi mana yang akan aku pijak, langit mana yang akan menaungiku, mau lari kemana aku atau apa yang akan aku perbuat kalau aku mengatakan tentang ayat Allah tidak sesuai dengan apa yang Allah kehendaki” (Atsar riwayat Ibnu Abdil Barr dalam Jami’ Bayanil ‘Ilmi, juz 2/52; Baihaqi dalam Al-Madkhal no 792; lihat Hilyatul ‘Alimi Al-Mu’allim, hal 60).

Pernah Ali bin Abi Thalib t ditanya tentang satu masalah, kemudian beliau menjawab, “Aku tidak mempunyai ilmu tentangnya” (padahal saat itu beliau sebagai khalifah -red). Beliau berkata setelah itu, “Duhai dinginnya hatiku” (3X). Maka para penanya berkata kepadanya, “Wahai Amirul Mukminin apa maksudmu?”. Ali Bin Abi Thalib menjawab, “Yakni dinginnya hati seseorang ketika ditanya tentang sesuatu yang tidak ia ketahui”. Kemudian ia menjawab, “Wallahu A’lam”.(Riwayat Ad-Darimi 1/62-63; Al Khatib dalam Al-Faqih wal Mutafaqih, juz 2 hal 71; Baihaqi dalam Al-Madkhal no 794 dari jalan yang banyak. Lihat Hilyatul ‘Alimi Al-Mu’alim hal 60).

Kejadian yang sama juga terjadi pada Ibnu Umar -radiyallahu 'anhu- ketika beliau ditanya, “Apakah bibi mendapat warisan?”. Beliau menjawab saya tidak tahu. Kemudian si penanya berkata, “Engkau tidak tahu dan kamipun tidak tahu, lantas…?”. Maka Ibnu Umar t berkata, “Pergilah kepada para Ulama di Madinah, dan tanyalah kepada mereka”. Maka ketika dia (si penanya -red) berpaling, dia berkata, “Sungguh mengagumkan Abu Abdirrahman (Yakni Ibnu Umar t) ditanya sesuatu yang beliau tidak tahu, beliau katakan: Saya tidak tahu”. (Riwayat Ad-Darimi 1/63; Ibnu Abdi Abdi Barr dalam Jami’ Bayanil ‘Ilmi; Al-Khatib dalam Al-Faqih wal Mutafaqih juz 2 hal 171-172; Al-Baihaqi dalam Al-Madkhal, 769. Lihat Hilyatul ‘Alimi Al-Mu’allim ha 61).

Datang seseorang kepada Imam Malik Bin Anas Rahimahullah, bertanya tentang satu masalah hingga beberapa hari beliau belum menjawab dan selalu mengatakan “saya tidak tahu”. Sampai kemudian orang itu datang dan berkata, “Wahai Abu ‘Abdillah, aku akan keluar kota dan aku sudah sering pulang pergi ke tempatmu (yakni meminta jawaban)”. Maka Imam Malik menundukkan kepalanya beberapa saat, kemudian mengangkat kepalanya dan berkata, “Masya Allah Hadza, aku berbicara adalah untuk mengharapkan pahala. Namun, aku betul-betul tidak mengetahui apa yang kamu tanyakan.” (Riwayat Abu Nu’aim dalam Al-Hilya, 6/323; Ibnu Abdil Barr dalam Jami’ Bayanil Ilmi 2/53; Baihaqi dalam Al-Madkhal no 816; Al-Khatib dalam Al-Faqih wal Mutafaqih 2/174; lihat Hilyatul ‘Alimi al Mu’allim, ha 63).

Dari beberapa ucapan di atas, kita diperintahkan untuk menyampaikan apa yang kita ketahui dari Al-Qur’an dan As-Sunnah, dan dilarang untuk berbicara pada sesuatu yang tidak kita ketahui. Sebagai penutup kita dengarkan nasehat seorang Ulama’ sebagai berikut:

Belajarlah engkau untuk mengucapkan ‘Saya tidak tahu’. Dan janganlah belajar mengatakan ’saya tahu’ (pada apa yang kamu tidak tahu -red), karena sesungguhnya jika engkau mengucapkan ’saya tidak tahu’ mereka akan mengajarimu sampai engkau tahu”. Tetapi jika engkau mengatakan ‘tahu’, mereka akan menghujanimu dengan pertanyaan hingga kamu tidak tahu”.(Jami’ Bayanil ‘Ilmi 2/55 melalui nukilan Hilyatul ‘Alim Al-Mu’allim, Salim Bin Ied Al-Hilaly, hal 66)

Perhatikan pula ucapan Imam Asy-Sya’bi Rahimahullah, “Kalimat ’saya tidak tahu’ adalah setengah ilmu”. (Riwayat Ad-Darimi 1/63; Al-Khatib dalam Al-Faqih Wal Mutafaqih juz 2/173; Baihaqi dalam Al-Madkhal no 810. Lihat Hilyatul ‘Ilmi Al-Mu’allim ham 65)

Maka kalau seseorang ’sok tahu’ tentang sesuatu yang tidak ada ilmu padanya, berarti bodoh di atas kebodohan. Yakni bodoh tentang ilmunya dan bodoh tentang dirinya. Wallahu a’lam

sumber : booklet assunah kolaka (sulawesi tenggara)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar